Kamis, 23 Agustus 2012

CERPEN-BUAIAN ANGKOT


Hari itu, cuaca cerah diluar, tiba-tiba terdengar teriakan suara seorang perempuan umur akhir 20-an memanggil nama seseorang dari lantai bawah ruko yang beralamat di daerah Kapuk Raya. Ruko tempat wanita itu berada merupakan ruko berlantai empat yang di lantai bawah pada bagian depannya merupakan ruang praktek medis sementara ruang lainnya merupakan tempat tinggal keluarga kecil wanita tersebut.
“Ika….” Teriak wanita muda tersebut memanggil. Tak lama terdengar jawaban  gadis kecil bila ditebak dari suaranya berasal dari tangga yang menghubungkan semua lantai ruko tersebut.
“Iya….” Seorang gadis kecil menghampiri wanita muda berkulit kuning langsat berambut ikal dan tebal yang telah memanggilnya. “Mau apa manggil Ika, Bu?”
Memandangi anak perempuan keduanya, Santi melihat kalau anak gadisnya yang sekarang berusia 6 tahun masih saja membawa buku kemanapun dia pergi. Ika, putri keduanya terasa berbeda dari putri pertamanya yang aktif dan tidak suka membaca. Putri keduanya ini terlalu ‘kutu buku’ membuat Santi dan suaminya cemas. Dia harus melakukan sesuatu demi anak keduanya.
“Temani ibu ke rumah nenekmu, ya?” Santi tersenyum manis pada Ika.
“Ayah belum kembali sama Kakak.” jawab polos Ika, tak mengerti. Biasanya ibunya tak pernah mengajaknya pergi disaat ayahnya tidak ada dirumah. Mau naik apa mereka, biasanya mereka sekeluarga pergi kemanapun dengan naik motor ayahnya.
“Kita akan naik angkot.” sahut Santi tersenyum menenangkan putrinya yang terlihat bingung. Dia cepat-cepat mengajak Ika untuk mengganti pakaian sebelum putrinya mulai bertanya macam-macam.
Siang itu adalah pengalaman pertama Ika diajak naik angkot. Sinar mentari yang terik terasa menyakiti kulit kecokelatan milik gadis kecil ini. Menunggu beberapa menit di pinggiran jalan raya, dia melihat ibunya melambaikan tangan pada sebuah mobil yang langsung berhenti di depan mereka.
“Ayo naik, Ika!” perintah ibunya yang langsung diikuti oleh Ika.
Menaiki tangga mobil itu, Ika langsung disergap berbagai bau tak sedap yang membuatnya mengernyit. Ika tak menyukai apa yang diciumnya; bau keringat penumpang yang bercampur baur dengan bau apak kendaraan. Gadis kecil ini juga tak menyukai apa yang dilihatnya dalam kendaraan umum itu; banyak orang dewasa saling duduk berdesak-desakan. Menurutnya, itu seperti menyiksa diri sendiri.
“Ayo, duduk sini Ika. Ibu pangku kamu.” Santi menarik tubuh mungil putrinya untuk dipangku. Kepala Ika terbentur atap angkot karena dipangku olehnya, membuat ekspresi putrinya langsung merenggut.
“Ika gak suka naik ini, Bu.” Gadis kecil itu berbisik di dekat leher Santi. “Ika benci mobil ini.”
Bingung, Santi bertanya lembut; “Memang kenapa?! Kok Ika ngomong begitu?”
“Bau...bikin pusing. Tempat ini juga panas.” jawab polos Ika sembari masih berbisik. Gadis kecil ini seakan mengerti kalau ucapannya mungkin bisa menyinggung penumpang lain, tapi tak bisa menahan ucapannya sehingga harus berbisik.
“Ini namanya angkot, Ika.” jelas Santi berusaha menjelaskan. “Banyak orang menggunakan kendaraan umum ini untuk berpergian.”
“Aku tidak mau pergi naik ini lagi.” tegas Ika penuh tekad.
Semenjak hari itu, Ika memang tidak pernah lagi mau naik angkot untuk pergi kemanapun. Dia semakin menjadi lebih pendiam dan malas berpergian. Dia selalu berusaha pergi dengan kendaraan pribadi yang dimiliki orang tuanya saja. Semua itu terus berlangsung selama bertahun-tahun.
Keadaan ini berubah karena pengalaman cukup pahit yang dialami keluarga Ika. Setelah gadis ini lulus kuliah, keluarganya dihantam masalah pelik. Ibu Ika; Santi mengalami masalah keuangan dengan kartu kredit. Tanpa sepengetahuan keluarga ternyata ibunya; wanita tegar dan pintar tersebut memiliki kartu kredit sangat banyak dan terlibat hutang sangat besar.
Ayah Ika sangat marah sehingga sering sekali bertengkar berdua ibunya. Siang malam, bahkan terkadang dihadapan Ika dan saudari-saudarinya. Ini menyakiti hati Ika melihat betapa sedih ibunya harus mengecewakan suaminya. Melihat hal itu terkadang Ika berpikir; buruk mana hutang ibunya atau penyelewengan ayahnya dengan perempuan lain yang tak terhitung banyaknya. Kalau Santi bisa berbesar hati memaafkan penyelewengan suaminya, mengapa ayah Ika tak bisa memaafkan kekhilafan ibunya.
Seringkali pada masa-masa itu kolektor berdatangan dan membuat Santi terus dirundung sedih. Kedatangan para kolektor yang terkadang dengan sikap yang buruk membuat ibu Ika yang cantik seakan mulai kehilangan cahayanya. Wanita tegar dan pintar ini mulai mengalami masalah pada jantungnya. Terkadang karena merasa tidak menerima dukungan penuh dari suaminya membuat Santi mengucapkan kalimat-kalimat putus asa pada Ika. Ini membuat Ika mengambil keputusan, dia harus bisa mendapatkan kerja untuk membantu meringankan beban Santi. Kalau memang dia harus naik angkot untuk itu, Ika akan melakukannya. Penderitaannya hanya hal yang kecil!
Cukup lama, Ika baru mendapatkan kerja yang cukup memuaskan bagi orang tuanya. Untuk mencapai tempat kerja tersebut, dia diharuskan menggunakan kendaraan umum. Pada awalnya kebencian dan ketidaksukaannya menjadi hambatan yang harus dilewati. Setiap mengingat janjinya, Ika berusaha melewati dengan getir. Dia tak mau mengecewakan ibunya. Cukup sudah kesedihan yang ditanggung Santi.
Lama kelamaan, naik angkot sudah menjadi rutinitas bagi Ika. Setelah dijalani ternyata semua tak seburuk itu. Ika masih tak menyukai bau yang terkadang membuatnya pusing, tapi kelelahan bekerja membuatnya sering kali tak bisa mempedulikan itu. Bagi Ika, angkot sekarang merupakan buaiannya untuk tertidur, baik ketika berangkat kerja ataupun pulang dalam keadaan lelah bekerja. Angkot menjadi salah satu tempat dimana dia merasa nyaman sekarang untuk bisa tertidur sampai mencapai tempat tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar