Kamis, 23 Agustus 2012

CERPEN-PEMINTAL MIMPI


“Nenek, kapan Ibu akan pulang?!” tanya seorang anak perempuan bertubuh mungil pada neneknya.
Kulit gadis kecil berumur 6 tahun itu kuning kecokelatan dengan rambut hitam bergelombang dikuncir dua, bergelung seperti buntut tupai. Mata gadis kecil itu berwarna hijau seperti lumut danau. Perempuan yang jauh lebih tua dari gadis kecil dan dipanggil nenek itu membelai penuh kasih sayang kepala bocah perempuan tersebut sembari tersenyum sedih. Wanita dengan warna mata hijau keemasan ini tak bisa mengatakan apapun pada gadis kecil ini untuk membuatnya mengerti apa yang telah menimpa ibunya.
Tahun demi tahun berlalu gadis kecil itu beranjak remaja. Sasha nama gadis kecil manis itu, tak memiliki nama belakang. Dia tak hanya tidak memiliki nama belakang tapi, semua tetangganya tahu kalau dirinya tidak memiliki orang tua dan hanya tinggal dengan neneknya. Mereka tidak pernah menerima tamu di rumahnya. Setiap acara sekolah, neneknya tidak pernah sekalipun datang menghadiri. Mendapat pengaturan aneh dan tidak biasa seperti itu tidak pernah membuat Sasha merasa tersinggung karena dia hanya tahu hidup seperti itu.
Hanya sekali, Sasha pernah bertanya pada neneknya perihal orang tuanya terutama keberadaan ibunya. Hari itu, teman baru Sasha di SMPnya bercerita mengenai betapa orang tuanya terlalu berlebihan menanggapi keberhasilannya memasuki SMP favorit tempatnya sekarang bersekolah. Mendengar itu, gadis manis yang mendapat kehormatan sebagai pelajar terbaik ini entah kenapa merasa iri karena meski menjadi perwakilan murid di kelasnya, dia tak pernah mendengar pujian dari orang tuanya. Pulang dari sekolah Sasha bertekad untuk menanyakan perihal orang tuanya pada neneknya.
“Nenek, aku pulang.” Panggil pelan Sasha di balik pintu kamar neneknya.
Meskipun Sasha hanya berucap pelan, dia tahu kalau neneknya mendengarkan. Tak lama terdengar jawaban bersuara lembut terdengar dari dalam kamarnya disertai dengan deru pelan mesin jahit yang bekerja. Nenek Sasha menghidupi mereka berdua dengan menjadi seorang penjahit. Hasil kain jahitan neneknya bisa berharga mahal sampai jutaan.
Selesai makan sore, Sasha mengerjakan pekerjaan rumahnya. Gadis remaja ini bingung bagaimana caranya untuk mengorek keterangan mengenai kedua orang tuanya pada neneknya. Dia tahu pasti tak akan mudah mencari tahu karena neneknya tak pernah sekalipun menceritakan perihal kedua orang tuanya. Menyadari kenyataan ini, Sasha menelan ludah berusaha menguatkan diri untuk bertanya.
Tok, tok, tok... Sasha beranjak masuk kamar neneknya setelah mengetuk tanpa mendengarkan balasan dari dalam kamar neneknya. Melihat kehadirannya, nenek Sasha menoleh sembari mengernyitkan alisnya yang indah. Tidak biasanya Sasha begitu tak sabaran menyelinap masuk kamar tanpa menunggu balasan dari neneknya.
“Ada apa?” tanya nenek Sasha memandangi gadis remaja itu. Dia memperhatikan kalau Sasha terlihat canggung dan tegang. Berulang kali remaja dihadapannya menarik-narik ujung bajunya.
Penuh tekad, Sasha memandang lurus pada neneknya dan berkata; “Nenek, dimana orang tuaku? Aku ingin mengetahui mengenai keberadaan mereka, mohon ceritakan padaku!”
Nenek Sasha terperanjat, tak mengira akan mendengar permintaan itu dari Sasha. Dengan segera, setelah keterkejutannya menghilang, mata hijau keemasan milik nenek Sasha diliputi kesedihan dan kehampaan. Dia menyusurkan pandangannya pada remaja dengan wajah tertunduk di depannya yang sekujur tubuhnya memancarkan ketegangan dan penuh pengharapan. Dia tahu kalau seharusnya tak menghancurkan harapan gadis itu akan kenyataan yang ingin diketahuinya. Tapi, bukan sekarang, Sasha masih terlalu muda. Dia tak mungkin bisa mencerna dengan baik penjelasan yang nanti akan mengguncang dunianya. Meski berat, neneknya harus mengacuhkan permohonan remaja berusia muda ini.
Menit-menit berlalu, keheningan terus berlanjut menyesakkan diri Sasha. Semenjak mengutarakan keingin tahuannya, remaja perempuan ini tidak berani memandang terus menerus pada neneknya. Dia merasa tegang dan hanya bisa memejamkan mata, menunggu neneknya bercerita. Dia terus menunggu dan mendengar deritan kursi dimana neneknya duduk menjahit. Dari sela kelopak matanya, Sasha melihat neneknya beranjak dari kursi menuju pintu. Keanehan perilaku neneknya membuat Sasha kembali memandanginya.
“Sasha...”
“Ya...” jawab Sasha penuh harap.
“Keluarlah, jangan ganggu nenek. Nenek banyak pekerjaan.”
Sasha benar-benar tak menyangka akan mendengar perkataan tersebut. Dia hanya bisa memandang bingung pada neneknya. Tatapan tak terbantahkan dari neneknya membuat Sasha tanpa sadar menuruti keinginan neneknya. Saat kembali tersadar, Sasha menemukan dirinya berada di depan pintu kamar neneknya yang sudah kembali tertutup. Dia berusaha memutar kenop pintu untuk kembali masuk dalam kamar neneknya. Tapi, dengan penuh kekecewaan, pintu kamar itu telah terkunci. Sasha hanya bisa membisu memandangi pintu kamar neneknya.
Lesu, Sasha merasa harapannya meletus bak gelembung balon sabun. Dia tahu kalau akan sulit mencari tahu info dari neneknya. Tapi, dia sungguh tak menyangka kalau akan mendapat perlakuan sampai seperti ini. Kekecewaan Sasha berusaha ditutupinya dengan mengalihkan pikirannya pada buku fiksi yang baru dibelinya. Sambil membaca, dia bertekad akan mendesak neneknya lagi di pagi hari nanti.
Nyaris tengah malam, ketika Sasha merasa haus setelah menghabiskan novel fiksi yang tadi dibacanya untuk menghapus kekecewaan. Dia bergerak dari atas tempat tidurnya dan berjalan menuju dapur. Samar-samar suara isakan tangis menghentikan laju langkahnya. Sasha mencoba mendengarkan lebih seksama suara isakan tersebut dan akhirnya bisa menemukan asal dari suara isakan tangis itu. Ada seseorang menangis di ruang tamu dalam temaram cahaya lilin.
Perlahan setelah menyesuaikan pandangan matanya dengan sinar lilin dia menyadari asal suara isakan itu dari neneknya. Isakan tangis dari neneknya terlihat menghancurkan hati. Tubuh neneknya seakan begitu rapuh karena isakan-isakan yang seolah mengiris diri sendiri. Remaja ini tak mengerti mengapa neneknya menangis sendirian dalam gelap seperti ini. Tangisan itu seakan dikeluarkan secara paksa dari dalam tubuh ramping neneknya. Isakan yang dikeluarkan neneknya memang pelan nyaris tak bersuara, melihat kejadian memilukan itu berlangsung tak jauh darinya berdiri membuat Sasha hanya bisa memandang kaku seperti palang pintu tempatnya bersandar.
“Sasha....” mendengar namanya dipanggil menyentak Sasha, “maafkan aku, tapi tak bisa sekarang...aku tak bisa cerita sekarang”
Mendengar perkataan lirih di sela isakan neneknya membuat dirinya menyadari apa penyebab tangisan di wajah neneknya terjadi. Semua itu karena dirinya, permintaannya sore tadi yang membuat neneknya menangis dalam kesendirian seperti ini. Sasha merasa malu dan sangat kecewa pada dirinya. Bagaimana mungkin dia telah menyakiti neneknya sampai seperti ini? Hanya karena rasa iri, dia telah membuat neneknya terluka. Apalah artinya semua itu, dia tak perlu mengetahui perihal orang tuanya kalau bisa menyakiti neneknya. Sasha bersumpah takkan lagi dia menyinggung hal ini. Cukup sekali, dia melihat neneknya menangis seperti ini.
Tiga tahun tanpa terasa berlalu dari hari yang tak terlupakan oleh Sasha. Tak pernah sekalipun remaja yang sekarang berusia tujuh belas tahun ini menyinggung mengenai orang tuanya. Meski mengherankan neneknya, di lubuk hati wanita itu merasa lega tak harus menghadapi pengharapan akan kebenaran yang tersimpan dalam mata hijau Sasha. Tanpa disadari Sasha, mata hijau milik gadis itu sekarang menyerupai mata hijau keemasan neneknya.
Sementara di suatu tempat yang tersembunyi dalam bayangan di balik bayangan, terjadi sesuatu yang tak diketahui gadis belia ini. Tempat itu merupakan tempat tinggal dari suatu suku tersembunyi. Entah kapan suku ini ada, tak ada tulisan sejarah dunia yang mengetahuinya. Semua mungkin mengganggap suku ini hanya karangan namun, mereka ada. Suku ini sangat tua dan tersembunyi dengan baik. Semenjak terciptanya peradaban ketika itu pula mereka terbentuk dan hadir. Suku itu menyebut diri mereka Pemintal Mimpi. Kehadiran mereka mutlak ada, keberadaan mereka tidaklah terasa dan sangat rahasia. Mereka berada diantara ada dan juga tiada.
Tempat tinggal suku ini tidak jauh berbeda dari manusia biasa, hanya letak tempat tinggal mereka agak berbeda yaitu; dibalik bayangan. Pakaian yang mereka kenakan juga menyerupai manusia, dengan bahan yang lebih halus dan lembut; mereka mampu memproyeksikan pakaian mereka menggunakan pikiran. Mereka memiliki teknologi yang menggunakan alam dan juga kekuatan energi mereka. Perbedaan tugas yang mereka dapat sejak lahir yang membuat mereka bisa saling berbeda satu dengan lainnya. Tugas dan pekerjaan mereka meliputi mimpi indah dan mimpi buruk. Perbedaan gender bagi mereka tidaklah masalah dalam melakukan pekerjaan dengan baik.
Para pemintal mimpi merupakan masyarakat yang kuno dan berpegang pada peraturan yang telah mengikat mereka selama bertahun-tahun. Tak ada pengecualian bagi peraturan tersebut. Mereka mendapatkan pengetahuan secara turun temurun dari para tetua yang silih berganti. Waktu berjalan agak lambat bagi mereka bila dibandingkan dengan manusia. Mereka bisa meninggal setelah ada yang bisa menggantikan tugas yang mereka emban sejak lahir.
Sekarang, di tempat para tetua pemintal mimpi; berkumpul para pemimpin muda yang membawahi beberapa kelompok pemintal mimpi dari berbagai negara di dunia. Mereka sedang membahas salah satu kejadian penting yang melibatkan dunia manusia. Kejadian ini merupakan kejadian langka yang terjadi hanya sekali sejauh ini selama sejarah para pemintal mimpi.
“Jadi, para tetua, ada apa gerangan kalian memanggil kami semua?!” tanya salah satu pemimpin muda yang berasal dari daerah yang dingin.
Pertanyaan pemimpin muda ini membuat para pemimpin yang lain serentak memandangi para tetua yang berjumlah dua belas orang. Para tetua itu memakai pakaian yang berbeda, satu dengan yang lain. Para tetua ada sebagai perlambangan adanya perbedaan. Mereka melambangkan musim yang ada di dunia manusia, daerah yang tercipta, emosi yang tersirat. Mereka melambangkan semua kemungkinan yang ada. Mereka yang menyimpan semua sejarah para pemintal mimpi, sejarah yang diturunkan bergantian dari tetua lama kepada tetua baru. Keputusan mereka yang telah mereka ambil berdasarkan peraturan yang tercipta semenjak dahulu kala tak terbantahkan.
“Kita akan menjemput putri suku pemintal mimpi!” seru tetua kepala. Tetua ini adalah yang paling arif dan paling berwibawa diantara semua tetua yang ada.
“Putri pemintal mimpi?! Bukankah dia menghilang?! Apa kalian telah menemukannya?!” tanya pemimpin muda dari daerah gurun bingung. Kebingungan yang terlihat pada pemimpin muda tersebut tersirat di semua wajah pemimpin muda lain.
Entah sudah berapa lama, suku pemintal mimpi kehilangan putri mereka. Tidak ada yang pernah melihat keberadaan putri pemintal mimpi selain para tetua yang ada. Putri suku pemintal mimpi adalah sosok yang berada di atas semua pemintal mimpi yang ada. Dia memiliki kemampuan memintal mimpi indah dan juga mimpi buruk. Dia juga mengetahui semua sejarah pemintal mimpi yang diterima oleh para tetua. Dia adalah pilar bagi semua suku pemintal mimpi. Keberadaannya penting bagi kelangsungan suku pemintal mimpi.
“Kami tidak pernah kehilangan putri pemintal mimpi.” terang salah satu tetua yang mengenakan pakaian berwarna biru tua. “Hanya saja, bukan putri pemintal mimpi lama yang akan kita jemput tetapi putri yang baru.”
“Maksud tetua?” tanya pemimpin muda perempuan yang berwenang di dataran tinggi. Dari wajahnya terlihat keingin tahuan yang mewakili semua pemimpin muda lain.
“Kalian tak perlu mengerti, hanya bersiap-siap saja menerimanya.” Tetua kepala terlihat tak berniat menjelaskan apapun.
Setelah semua pemimpin muda beranjak pergi, terjadi pembicaraan diantara para tetua. Mereka terlihat sedih dalam pembahasan tersebut. Mereka semua mengetahui penyebab mengapa putri yang lama diganti dengan yang baru. Mereka, terutama tetua kepala akrab dengan sang putri. Mereka yang membesarkan dan mengurus sang putri. Mereka juga yang memberikan pendidikan dasar secara langsung, bergantian. Dulu, mereka mengira kalau mengerti pemikiran sang putri tapi, ternyata mereka telah salah. Padahal sang putri berada di bawah bimbingan mereka, namun tetap saja sang putri melakukan pelanggaran. Pelanggaran peraturan terberat suku Pemintal Mimpi!
Malam itu merupakan malam dengan bulan yang tak lama lagi menjadi bulan purnama sempurna. Dimalam seperti ini, mudah bagi para suku pemintal mimpi untuk memasuki dunia manusia. Memandangi bulan yang berbentuk setengah lingkaran, nenek Sasha bernyanyi. Nyanyian tersebut berasal dari ingatan yang terasa jauh darinya. Tak ada satupun bahasa manusia yang bisa menandingi bahasa yang terkandung dalam kidung nyanyian tersebut. Kehadiran seseorang yang dikenal nenek Sasha yang menghentikan dendangan kidung malam itu.
“Sudah cukup lama tidak melihat anda, Tetua.” Nenek Sasha berbisik ke arah bayangan pintu kamar yang menyambungkan beranda dengan kamar tidurnya.
Dari dalam bayangan cahaya bulan, sesosok tubuh yang tinggi dan tegap keluar. Senyum sedih membayang di wajah arif dan menua tersebut. Penuh kasih, tetua kepala memandangi wanita cantik yang bersandar pada pegangan beranda. Berbagai pikiran dari ingatan yang sudah lama berlalu berkelebat di kepalanya. Berjalan dalam diam, tetua kepala mendekati nenek Sasha.
“Memang sudah cukup lama, Putri.” Tetua kepala membalas sapaan nenek Sasha.
“Ada apa gerangan, sampai aku mendapat kehormatan kunjunganmu?! Setelah sekian lama mengacuhkan kehadiranku, mengapa kau muncul?” Nenek Sasha yang ternyata merupakan putri suku pemintal mimpi menatap tajam pada tetua kepala.
“Kami akan mengambil putri suku pada bulan purnama.” Tetua kepala langsung mengutarakan maksud kedatangannya tanpa basa-basi lagi.
“Kalian akan datang membawaku kembali?!” Nenek Sasha terlihat geli mendengar tujuan kedatangan lelaki tua yang merupakan pembimbingnya tersebut.
“Kau tahu kalau kau tidak akan pernah bisa kembali ke dalam suku lagi, Putri. Tidak, setelah kau melakukan pelanggaran terberat dan mendapatkan kutukan tersebut.” Tetua kepala terlihat sedih mengingat kesalahan yang sudah diperbuat sang putri.
“Lalu, siapa yang...Kenapa kau datang memberitahuku mengenai hal ini?” Nenek Sasha memandang pada sang tetua penuh curiga yang dibalas dengan kesedihan yang kentara di wajah tua itu. “Tidak mungkin! Kau tidak bermaksud..”
“Hanya keturunan langsung yang bisa membayar kesalahanmu, Putri. Keberadaan seorang putri suku penting bagi dunia Pemintal Mimpi. Kau tahu itu dengan jelas.”
“Kau akan mengambil Sasha?! Dia satu-satunya hartaku yang tersisa, setelah kalian mengambil pasanganku dan memberiku kutukan.”
“Kesalahanmu dalam melanggar peraturan yang membuatmu mendapat kutukan, Putri.” Tetua kepala menyela perkataan sang mantan putri dengan tajam. Menghela nafas, lelaki arif ini melanjutkan; “Kesalahanmu pula yang akan membuat suku pemintal mimpi menerima dampaknya. Seluruh pemintal mimpi memerlukan seorang putri sebagai pilar. Kami, para tetua telah berusaha memberikan 17 tahun kenangan untukmu bersama dengan Sasha. Sudah saatnya kau mengembalikan dirinya pada kami.”
“Tapi, bukan seperti ini aku ingin hidup bersamanya.” Nenek Sasha terlihat amat sedih. Dia tak pernah bisa menjalani hidup dengan Sasha sesuai dengan perannya yang sebenarnya. Kutukannya membuat semua tak bisa terjadi.
“Kau yang telah menabur, Putri, maka kau pula yang harus menuainya. Semua ini adalah bagian dari kutukanmu, Putri. Kaulah yang harus menanggungnya. Kami, para tetua tak bisa membiarkan seluruh pemintal mimpi menanggung akibat keegoisanmu.” Memandangi bulan yang berada tinggi di angkasa biru, tetua kepala melanjutkan; “Kami akan menjemput Sasha tepat pada saat bulan purnama puncak.”
Setelah selesai menyampaikan kalimat terakhirnya, lelaki tua itu beranjak menuju bayangan tempatnya muncul. Kepergian lelaki tua itu meninggalkan nenek Sasha menitikkan air mata dalam diam. Semua memang kesalahannya sehingga dia menanggung kutukan yang menyakitkan ini. Keegoisan yang membuat posisinya menjadi tak jelas. Semua merupakan bagian dari kutukan, kutukan yang tidak dianggap penting baginya hanya karena mengganggap dirinya berkuasa. Dia meremehkan peraturan hanya karena dirinya seorang putri.
Hari yang ditentukan telah tiba! Malam ini merupakan malam bulan purnama pertama setelah ulang tahun ke-17 Sasha. Pada malam ini pula, Sasha harus berpisah dengan neneknya. Setelah makan malam, nenek Sasha memanggil dirinya untuk berjalan-jalan di taman. Berjalan pelan, nenek Sasha menggandeng tangannya. Mereka sekarang berada di tengah taman yang luas. Duduk di bangku taman, Sasha merasakan dirinya ditarik duduk dan mengikutinya. Entah kenapa, Sasha merasakan keanehan pada perilaku neneknya. Wanita yang selama ini membesarkan Sasha jarang sekali mengajaknya berjalan keluar.
“Sasha..” panggil nenek Sasha berbisik.
“Ya, Nek.” sahut Sasha tanpa menoleh, dia sibuk terpesona pada bulan purnama yang terlihat mengapung.
“Apa kau masih merindukan ibumu?!” tanya neneknya pelan.
Terkejut mendengar pertanyaan neneknya, Sasha otomatis menoleh. Dia melihat kalau pandangan neneknya terlihat menerawang. Setelah beberapa tahun semenjak dirinya bertekad melupakan keberadaan orang tuanya. Sekarang, entah mengapa neneknya mengungkit hal ini. Walau sangat ingin tahu, tapi dalam lubuk hatinya, Sasha merasa tegang dan takut. Dia merasa kalau malam ini akan terjadi sesuatu yang berbeda pada mereka.
Tanpa mendengar jawaban Sasha, neneknya mulai bercerita; “Dulu...sejak jaman dahulu kala ada sebuah suku yang hidup dalam bayangan, dibalik bayangan dunia ini. Suku itu memiliki kemampuan memintal mimpi. Dalam melakukan pekerjaan, tidak ada perbedaan gender. Yang membedakan hanya tugas yang harus mereka emban semenjak lahir. Tugas yang harus mereka lakukan adalah memintal mimpi indah dan mimpi buruk.” Menarik nafas panjang, sang nenek menoleh pada Sasha yang terlihat bingung. Wanita ini hanya tersenyum memandangi dan membelai lembut wajah manis remaja tujuh belas tahun itu.
Memandang kembali bulan purnama yang mulai memanjat naik, nenek Sasha meneruskan; “Suku itu memiliki seorang putri dan peraturan yang tidak boleh dilanggar. Keberadaan seorang putri bagi suku itu begitu penting, namun..tidak sepenting peraturan kuno tersebut. Peraturan kuno itu melarang semua anggota suku pemintal mimpi untuk berhubungan dengan manusia. Sang putri yang merasa kalau dirinya penting bagi suku menganggap remeh peraturan itu. Dia melanggarnya!”
“Nenek..” Sasha bingung melihat neneknya mendekap kakinya dan mulai gemetaran. Tubuh ramping neneknya terlihat seperti anak kecil.
Tak menghiraukan selaan Sasha, neneknya meneruskan; “Kutukan yang diterima sang putri membuatnya harus menyaksikan pasangannya meregang nyawa dihadapannya karena mimpi buruk tanpa bisa membantu. Menyakitkan sekali, melihatnya semakin kurus dan mengering karena mimpi buruk yang datang tak henti itu.” Nenek Sasha terisak seakan cerita itu merupakan bagian dari ingatannya.
“Nenek, sudah hentikan!” Sasha memeluk tubuh neneknya yang terisak pedih.
“Tidak hanya itu, saat pasangannya menghembuskan nafas terakhir...dia mendapatkan lanjutan kutukannya. Darah dagingnya melupakannya, melupakan semua kenangan masa kecilnya dan mengganggapnya orang lain. Dia harus hidup seperti itu, menelan kepahitan itu karena keegoisannya telah melupakan peraturan kuno suku.” Memandang sendu dengan mata penuh air mata, nenek Sasha memegang lengan remaja tersebut dan berkata; “Aku ibumu, Sasha!” Mendengar hal tersebut, Sasha tersentak kaget dan berdiri mematung.
“Semua adalah salahku, karena aku putri yang egois. Aku menganggap karena seorang putri maka peraturan itu tak berlaku untukku. Tapi, aku salah! Peraturan tetaplah peraturan, apapun posisimu tetap harus dijaga dan dipatuhi. Karena pelanggaran bodoh, aku tak bisa menjadi ibumu. Karena itu pula kau harus menggantikanku sebagai putri.”
“Maksudmu?”
“Aku membuat suku pemintal mimpi yang tak bersalah kehilangan putri mereka, orang yang seharusnya menjadi pilar dunia mereka. Karena itu, kumohon padamu, Sasha, terimalah posisi itu. Jadilah sang putri! Hanya kau yang bisa menggantikanku.”
“Aku...menjadi putri pemintal mimpi?! Tapi...”
“Kau adalah yang terpilih menggantikan ibumu, Sasha” seru pelan seorang lelaki tua yang terlihat arif dan berwibawa. “Bila kau menolak, maka jutaan anggota suku pemintal mimpi akan menghilang dan lenyap. Mimpi-mimpi yang ada takkan bisa terpintal dan terwujud lagi. Lalu, ibumu akan terus terkena kutukan; tidak bisa mengakuimu sebagai darah dagingnya dan hidup tanpa mati melihat kematian yang disebabkan dirinya.”
“Itu terlalu kejam, bukan?!” Sasha terlihat marah mendengar semua itu.
“Itu adalah akibat dari pelanggaran peraturan yang dianggap sepele ibumu, Sasha!” Lelaki itu menatap sedih pada nenek yang ternyata merupakan ibu kandung Sasha, tatapan itu membuat wanita berhati lembut itu tertunduk.
Melihat penyesalan yang terpancar dari seluruh tubuh ibunya, Sasha berkata; “Apa ibuku bisa terbebas dari kutukan kalau aku menerima posisi itu?”
“Kalau kau menerima posisi itu, Sasha, semua anggota suku akan terus hidup dan bisa menjalankan tugasnya. Ibumu bisa mengakui dirimu kembali sebagai darah dagingnya, tapi, dia tetap akan menerima hukuman.” Tetua kepala menerangkan.
“Masih menerima hukuman?!” Sasha terlihat tak setuju.
“Ya, dia telah membuang sukunya maka, selamanya tak akan bisa kembali ke tempat dimana sukunya berada. Dia harus mati di dunia ini, dunia yang dipilihnya.”
“Aku mengerti, aku bisa menerima itu.” sahut ibu Sasha. “Asal aku bisa mengakui Sasha sebagai anakku, itu sudah cukup.”
Maka, dengan Ibu Sasha menerima hukuman terakhir itu, Sasha pergi bersama dengan para tetua yang datang menjemputnya melalui bayangan pepohonan taman yang bertebaran. Kepergian Sasha memang menyakitkan bagi ibunya, tapi setelah sekian lama akhirnya dia bisa menebus kesalahannya. Kepergian Sasha sebagai putri suku akan membuat suku Pemintal Mimpi terus hidup dan baginya itu sudah cukup memuaskan.

CERPEN-BUAIAN ANGKOT


Hari itu, cuaca cerah diluar, tiba-tiba terdengar teriakan suara seorang perempuan umur akhir 20-an memanggil nama seseorang dari lantai bawah ruko yang beralamat di daerah Kapuk Raya. Ruko tempat wanita itu berada merupakan ruko berlantai empat yang di lantai bawah pada bagian depannya merupakan ruang praktek medis sementara ruang lainnya merupakan tempat tinggal keluarga kecil wanita tersebut.
“Ika….” Teriak wanita muda tersebut memanggil. Tak lama terdengar jawaban  gadis kecil bila ditebak dari suaranya berasal dari tangga yang menghubungkan semua lantai ruko tersebut.
“Iya….” Seorang gadis kecil menghampiri wanita muda berkulit kuning langsat berambut ikal dan tebal yang telah memanggilnya. “Mau apa manggil Ika, Bu?”
Memandangi anak perempuan keduanya, Santi melihat kalau anak gadisnya yang sekarang berusia 6 tahun masih saja membawa buku kemanapun dia pergi. Ika, putri keduanya terasa berbeda dari putri pertamanya yang aktif dan tidak suka membaca. Putri keduanya ini terlalu ‘kutu buku’ membuat Santi dan suaminya cemas. Dia harus melakukan sesuatu demi anak keduanya.
“Temani ibu ke rumah nenekmu, ya?” Santi tersenyum manis pada Ika.
“Ayah belum kembali sama Kakak.” jawab polos Ika, tak mengerti. Biasanya ibunya tak pernah mengajaknya pergi disaat ayahnya tidak ada dirumah. Mau naik apa mereka, biasanya mereka sekeluarga pergi kemanapun dengan naik motor ayahnya.
“Kita akan naik angkot.” sahut Santi tersenyum menenangkan putrinya yang terlihat bingung. Dia cepat-cepat mengajak Ika untuk mengganti pakaian sebelum putrinya mulai bertanya macam-macam.
Siang itu adalah pengalaman pertama Ika diajak naik angkot. Sinar mentari yang terik terasa menyakiti kulit kecokelatan milik gadis kecil ini. Menunggu beberapa menit di pinggiran jalan raya, dia melihat ibunya melambaikan tangan pada sebuah mobil yang langsung berhenti di depan mereka.
“Ayo naik, Ika!” perintah ibunya yang langsung diikuti oleh Ika.
Menaiki tangga mobil itu, Ika langsung disergap berbagai bau tak sedap yang membuatnya mengernyit. Ika tak menyukai apa yang diciumnya; bau keringat penumpang yang bercampur baur dengan bau apak kendaraan. Gadis kecil ini juga tak menyukai apa yang dilihatnya dalam kendaraan umum itu; banyak orang dewasa saling duduk berdesak-desakan. Menurutnya, itu seperti menyiksa diri sendiri.
“Ayo, duduk sini Ika. Ibu pangku kamu.” Santi menarik tubuh mungil putrinya untuk dipangku. Kepala Ika terbentur atap angkot karena dipangku olehnya, membuat ekspresi putrinya langsung merenggut.
“Ika gak suka naik ini, Bu.” Gadis kecil itu berbisik di dekat leher Santi. “Ika benci mobil ini.”
Bingung, Santi bertanya lembut; “Memang kenapa?! Kok Ika ngomong begitu?”
“Bau...bikin pusing. Tempat ini juga panas.” jawab polos Ika sembari masih berbisik. Gadis kecil ini seakan mengerti kalau ucapannya mungkin bisa menyinggung penumpang lain, tapi tak bisa menahan ucapannya sehingga harus berbisik.
“Ini namanya angkot, Ika.” jelas Santi berusaha menjelaskan. “Banyak orang menggunakan kendaraan umum ini untuk berpergian.”
“Aku tidak mau pergi naik ini lagi.” tegas Ika penuh tekad.
Semenjak hari itu, Ika memang tidak pernah lagi mau naik angkot untuk pergi kemanapun. Dia semakin menjadi lebih pendiam dan malas berpergian. Dia selalu berusaha pergi dengan kendaraan pribadi yang dimiliki orang tuanya saja. Semua itu terus berlangsung selama bertahun-tahun.
Keadaan ini berubah karena pengalaman cukup pahit yang dialami keluarga Ika. Setelah gadis ini lulus kuliah, keluarganya dihantam masalah pelik. Ibu Ika; Santi mengalami masalah keuangan dengan kartu kredit. Tanpa sepengetahuan keluarga ternyata ibunya; wanita tegar dan pintar tersebut memiliki kartu kredit sangat banyak dan terlibat hutang sangat besar.
Ayah Ika sangat marah sehingga sering sekali bertengkar berdua ibunya. Siang malam, bahkan terkadang dihadapan Ika dan saudari-saudarinya. Ini menyakiti hati Ika melihat betapa sedih ibunya harus mengecewakan suaminya. Melihat hal itu terkadang Ika berpikir; buruk mana hutang ibunya atau penyelewengan ayahnya dengan perempuan lain yang tak terhitung banyaknya. Kalau Santi bisa berbesar hati memaafkan penyelewengan suaminya, mengapa ayah Ika tak bisa memaafkan kekhilafan ibunya.
Seringkali pada masa-masa itu kolektor berdatangan dan membuat Santi terus dirundung sedih. Kedatangan para kolektor yang terkadang dengan sikap yang buruk membuat ibu Ika yang cantik seakan mulai kehilangan cahayanya. Wanita tegar dan pintar ini mulai mengalami masalah pada jantungnya. Terkadang karena merasa tidak menerima dukungan penuh dari suaminya membuat Santi mengucapkan kalimat-kalimat putus asa pada Ika. Ini membuat Ika mengambil keputusan, dia harus bisa mendapatkan kerja untuk membantu meringankan beban Santi. Kalau memang dia harus naik angkot untuk itu, Ika akan melakukannya. Penderitaannya hanya hal yang kecil!
Cukup lama, Ika baru mendapatkan kerja yang cukup memuaskan bagi orang tuanya. Untuk mencapai tempat kerja tersebut, dia diharuskan menggunakan kendaraan umum. Pada awalnya kebencian dan ketidaksukaannya menjadi hambatan yang harus dilewati. Setiap mengingat janjinya, Ika berusaha melewati dengan getir. Dia tak mau mengecewakan ibunya. Cukup sudah kesedihan yang ditanggung Santi.
Lama kelamaan, naik angkot sudah menjadi rutinitas bagi Ika. Setelah dijalani ternyata semua tak seburuk itu. Ika masih tak menyukai bau yang terkadang membuatnya pusing, tapi kelelahan bekerja membuatnya sering kali tak bisa mempedulikan itu. Bagi Ika, angkot sekarang merupakan buaiannya untuk tertidur, baik ketika berangkat kerja ataupun pulang dalam keadaan lelah bekerja. Angkot menjadi salah satu tempat dimana dia merasa nyaman sekarang untuk bisa tertidur sampai mencapai tempat tujuan.

Sabtu, 16 Juli 2011

THE MARRIED, LOVE AND HATRED

THE MEETING


"Hi, who's that man over there?" ask Santy to her younger brother; John. Her  younger brother looked the pace she pointed try to figure it out what she means.
"Who?! Oh, him...he's my Kungfu-teacher."
"What?! You joking right! He's so young! How can he manage to become one?" Santy can't believe what her brother said. But, watching that young man closely make her wonder it's that true.

That young man; Santy can't stop staring has some kind of vibrate that nobody want to mess with. He's popular among the kungfu-student but Santy don't think that's because his good-looking enough. The air around him is somewhat look gentle when he smile but Santy's heart got a flee that is more mistery beneath him that make's her curiosity tickle. Watching him from the first time make Santy heart almost stop before it beating more faster that usual.

"Stop it!"
Her brother warning make Santy turn around and see him. Her brother watch her like an eagle watching the prey. Her brother also looked worried. Makes her wonder what's he so worried about that can make him so disturbed. Santy tried to smile to melt the awkward situation that happening. But, her brother not reply her smile.
"What? Why you suddenly looked so serious like that?" ask Santy
"Don't continue, please just stop it!"
"Stop what? I don't understand."
"The thing you're doing now. Please just stop it, he's beyond you're league."
"What?! Why you said that?"
"Just turn around! Don't make me must explained to you. Don't make him you're target! You'll sorry."
"What's so wrong to getting interested at him? He's seem harmless!"
John watched his sister like she suddenly talk alien language; "Trust me, He's way than harmless. He's dangerous! Nothing that you want to mess with especialy mess with you're feeling as the bet."
"I think it's way too late!" said Santy sadly.
"What?"
"I think i already falling for the first sight with him."
"What, Santy? Tell me you're joking."
"No, i think."
"How can you be sure about that? You don't even know about 'like' yet, and suddenly now you said you fallin for the first sight with a stranger?"
"Yeah..i know. I'm really sure i got the love disease."
"You're nuts! Completely crazy!"
"Yeah..i guess."

REASON I MADE THIS STORY

    
Everytime i saw them get a fight and insulting each other, it makes me wonder why they want to get married if they said many harsh and rude thing. Saw them like that made me feel desperate, make me not just scared but also terrified about married kind of thing. I'm also feeling sad b'coz i know how hard those arguments hurt my mother. I know how much she love him and how much she care for him. Sometimes they fight get hurt and patching each other. In time like that i just wanna yell and said; "Stop it..Are u two not hurting enough all these years doing something like this over and over again?"