Hari itu, cuaca cerah diluar, tiba-tiba
terdengar teriakan suara seorang perempuan umur akhir 20-an memanggil nama seseorang
dari lantai bawah ruko yang beralamat di daerah Kapuk Raya. Ruko tempat wanita
itu berada merupakan ruko berlantai empat yang di lantai bawah pada bagian
depannya merupakan ruang praktek medis sementara ruang lainnya merupakan tempat
tinggal keluarga kecil wanita tersebut.
“Ika….” Teriak wanita muda tersebut
memanggil. Tak lama terdengar jawaban gadis kecil bila ditebak dari suaranya berasal
dari tangga yang menghubungkan semua lantai ruko tersebut.
“Iya….” Seorang gadis kecil menghampiri
wanita muda berkulit kuning langsat berambut ikal dan tebal yang telah
memanggilnya. “Mau apa manggil Ika, Bu?”
Memandangi anak perempuan keduanya, Santi
melihat kalau anak gadisnya yang sekarang berusia 6 tahun masih saja membawa
buku kemanapun dia pergi. Ika, putri keduanya terasa berbeda dari putri
pertamanya yang aktif dan tidak suka membaca. Putri keduanya ini terlalu ‘kutu
buku’ membuat Santi dan suaminya cemas. Dia harus melakukan sesuatu demi anak
keduanya.
“Temani ibu ke rumah nenekmu, ya?” Santi
tersenyum manis pada Ika.
“Ayah belum kembali sama Kakak.” jawab
polos Ika, tak mengerti. Biasanya ibunya tak pernah mengajaknya pergi disaat
ayahnya tidak ada dirumah. Mau naik apa mereka, biasanya mereka sekeluarga
pergi kemanapun dengan naik motor ayahnya.
“Kita akan naik angkot.” sahut Santi
tersenyum menenangkan putrinya yang terlihat bingung. Dia cepat-cepat mengajak
Ika untuk mengganti pakaian sebelum putrinya mulai bertanya macam-macam.
Siang itu adalah pengalaman pertama Ika
diajak naik angkot. Sinar mentari yang terik terasa menyakiti kulit kecokelatan
milik gadis kecil ini. Menunggu beberapa menit di pinggiran jalan raya, dia melihat
ibunya melambaikan tangan pada sebuah mobil yang langsung berhenti di depan
mereka.
“Ayo naik, Ika!” perintah ibunya yang
langsung diikuti oleh Ika.
Menaiki tangga mobil itu, Ika langsung
disergap berbagai bau tak sedap yang membuatnya mengernyit. Ika tak menyukai
apa yang diciumnya; bau keringat penumpang yang bercampur baur dengan bau apak
kendaraan. Gadis kecil ini juga tak menyukai apa yang dilihatnya dalam
kendaraan umum itu; banyak orang dewasa saling duduk berdesak-desakan.
Menurutnya, itu seperti menyiksa diri sendiri.
“Ayo, duduk sini Ika. Ibu pangku kamu.” Santi
menarik tubuh mungil putrinya untuk dipangku. Kepala Ika terbentur atap angkot
karena dipangku olehnya, membuat ekspresi putrinya langsung merenggut.
“Ika gak suka naik ini, Bu.” Gadis kecil
itu berbisik di dekat leher Santi. “Ika benci mobil ini.”
Bingung, Santi bertanya lembut; “Memang
kenapa?! Kok Ika ngomong begitu?”
“Bau...bikin pusing. Tempat ini juga
panas.” jawab polos Ika sembari masih berbisik. Gadis kecil ini seakan mengerti
kalau ucapannya mungkin bisa menyinggung penumpang lain, tapi tak bisa menahan
ucapannya sehingga harus berbisik.
“Ini namanya angkot, Ika.” jelas Santi
berusaha menjelaskan. “Banyak orang menggunakan kendaraan umum ini untuk
berpergian.”
“Aku tidak mau pergi naik ini lagi.” tegas
Ika penuh tekad.
Semenjak hari itu, Ika memang tidak pernah
lagi mau naik angkot untuk pergi kemanapun. Dia semakin menjadi lebih pendiam
dan malas berpergian. Dia selalu berusaha pergi dengan kendaraan pribadi yang
dimiliki orang tuanya saja. Semua itu terus berlangsung selama bertahun-tahun.
Keadaan ini berubah karena pengalaman
cukup pahit yang dialami keluarga Ika. Setelah gadis ini lulus kuliah,
keluarganya dihantam masalah pelik. Ibu Ika; Santi mengalami masalah keuangan dengan
kartu kredit. Tanpa sepengetahuan keluarga ternyata ibunya; wanita tegar dan
pintar tersebut memiliki kartu kredit sangat banyak dan terlibat hutang sangat
besar.
Ayah Ika sangat marah sehingga sering
sekali bertengkar berdua ibunya. Siang malam, bahkan terkadang dihadapan Ika
dan saudari-saudarinya. Ini menyakiti hati Ika melihat betapa sedih ibunya
harus mengecewakan suaminya. Melihat hal itu terkadang Ika berpikir; buruk mana
hutang ibunya atau penyelewengan ayahnya dengan perempuan lain yang tak terhitung
banyaknya. Kalau Santi bisa berbesar hati memaafkan penyelewengan suaminya,
mengapa ayah Ika tak bisa memaafkan kekhilafan ibunya.
Seringkali pada masa-masa itu kolektor
berdatangan dan membuat Santi terus dirundung sedih. Kedatangan para kolektor
yang terkadang dengan sikap yang buruk membuat ibu Ika yang cantik seakan mulai
kehilangan cahayanya. Wanita tegar dan pintar ini mulai mengalami masalah pada
jantungnya. Terkadang karena merasa tidak menerima dukungan penuh dari suaminya
membuat Santi mengucapkan kalimat-kalimat putus asa pada Ika. Ini membuat Ika
mengambil keputusan, dia harus bisa mendapatkan kerja untuk membantu
meringankan beban Santi. Kalau memang dia harus naik angkot untuk itu, Ika akan
melakukannya. Penderitaannya hanya hal yang kecil!
Cukup lama, Ika baru mendapatkan kerja
yang cukup memuaskan bagi orang tuanya. Untuk mencapai tempat kerja tersebut,
dia diharuskan menggunakan kendaraan umum. Pada awalnya kebencian dan
ketidaksukaannya menjadi hambatan yang harus dilewati. Setiap mengingat
janjinya, Ika berusaha melewati dengan getir. Dia tak mau mengecewakan ibunya.
Cukup sudah kesedihan yang ditanggung Santi.
Lama kelamaan, naik angkot sudah menjadi rutinitas bagi Ika. Setelah
dijalani ternyata semua tak seburuk itu. Ika masih tak menyukai bau yang
terkadang membuatnya pusing, tapi kelelahan bekerja membuatnya sering kali tak bisa
mempedulikan itu. Bagi Ika, angkot sekarang merupakan buaiannya untuk tertidur,
baik ketika berangkat kerja ataupun pulang dalam keadaan lelah bekerja. Angkot
menjadi salah satu tempat dimana dia merasa nyaman sekarang untuk bisa tertidur
sampai mencapai tempat tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar